Monday, September 5, 2011

PERLINDUNGAN PROFESI GURU

Oleh : Enjang Suhaedin, S.Pd. (Guru SMK Kolese Tiara Bangsa Batam)

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen bahwa guru dewasa ini diakui sebagai suatu profesi yang sejajar dengan profesi lain seperti dokter, pengacara, dan sebagainya. Artinya untuk menjadi seorang guru tidak ‘gampangan’ dan tidak semua orang lantas bisa menjadi guru melainkan harus memenuhi berbagai syarat kompetensi yang telah ditentukan dan harus siap melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat. Dampak dari pengakuan guru sebagai profesi maka guru memperoleh perlindungan dalam menjalankan tugas keprofesionalannya.
Namun fenomena yang terjadi, dalam menjalankan tugas keprofesionalannya tidak jarang guru mendapatkan perlakuan diskriminatif, intimidasi dan kesewenang-wenangan birokrasi, penghinaan dan perlakuan yang tidak wajar dari peserta didik/orang tua, PHK secara sepihak, kompensasi yang tidak wajar terutama untuk guru-guru swasta, honorer maupun guru sukarelawan yang masih memperoleh penghasilan dibawah penghasilan buruh pabrik yang tidak dapat memenuhi keperluaan profesinya apalagi memenuhi keperluan pribadi dan keluarganya, serta ketiadaan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja tidak hanya bagi guru-guru yang ada di dearah terpencil dan rawan bencana tapi terjadi pula pada guru-guru di daerah perkotaan.
Itu semua merupakan bentuk pelecehan terhadap profesi guru, dan terabaikannya hak perlindungan dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Padahal secara yuridis pemerintah sudah memberikan perlindungan kepada guru sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 14 (1) butir c bahwa “Dalam menjalankan tugas keprofesionalan guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektualnya.” Sedangkan yang dimaksud dengan hak perlindungan guru menurut pasal 39 yaitu meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan, dan kesehatan kerja”.
Perlindungan hukum tersebut mencakup perlindungan hukum dari tindakan kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Perlindungan profesi mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja mencakup perlindungan terhadap resiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja dan/atau resiko lain.
Namun sekarang yang menjadi pertanyaan apakah pihak pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan organisasi profesi yang notabene merupakan pihak yang bertanggugjawab untuk memberikan perlindungan sudah memberikan perlindungan hukum terhadap guru? Dengan melihat fenomena yang terjadi sekarang ini rasanya implementasi perlindungan terhadap guru masih jauh dari harapan dan undang-undang masih hanya menjadi aturan normatif. Mengapa itu semua bisa terjadi? Menurut analisis penulis, ada beberapa faktor yang menyebabkan guru belum memperoleh perlindungan hukum yang semestinya, yaitu sebagai berikut :
Pertama, Dari sisi individu gurunya sendiri, yaitu adanya kebiasan-kebiasan buruk dari oknum guru yang tidak menjalankan tugasnya sesuai tuntutan profesi dan kompetensinya. Sehingga hal tersebut dapat menyebabkab guru kehilangan wibawa dimata masyarakat dan dapat membentuk opini bahwa guru belum layak untuk diberikan penghargaan dan perlindungan. Disadari atau tidak penghargaan dan perlindungan secara moral akan diberikan oleh masyarakat ketika guru dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional dan menjunjung kode etik sebagai guru. Oleh karena itu perlu dibentuk dewan kehormatan guru pada setiap organisasi profesi yang secara khusus melakukan pembinaan etika profesi, dan memberikan sanksi bagi guru yang melanggar kode etik profesi, sehingga diharapkan keprifesionalan guru dapat terus terjaga dalam setiap individunya. Hal ini tentu dapat menaikan harkat dan martabat guru, dan meyakinkan publik bahwa guru benar-benar merupakan suatu profesi yang layak untuk diberikan penghargaan dan perlindungan yang sepadan dengan tugas, tanggungjawab dan keprofesionalannya, karena untuk memperoleh perlindungan perlu adanya pengakuan dari kolektifitas masyarakat bahwa guru merupakan suatu profesi. Dari sisi lain fungsi dari dewan kehormatan guru yaitu ketika guru terkena masalah-masalah sosial dalam menjalankan profesinya, maka yang pertama berhak untuk menghakimi adalah dewan kehormatan, bukan dihakimi secara masal oleh peserta didik, orangtua maupun masyarakat, karena hal demikian dapat merusak citra dan martabat guru.
Kedua, Ketidakpahaman masyarakat swasta mengenai undang-undang dan berbagai macam peraturan tentang guru sehingga pada sekolah-sekolah swasta guru kerap disamakan dengan pekerja pabrik, buruh lepas (non profesi) baik dari segi tugas, peraturan, perlakuan, maupun kompensasi yang diterima oleh guru. Oleh karena itu perlu sosialiasai kepada pihak swasta mengenai berbagai undang-undang dan peraturan mengenai guru, serta perlu dibentuknya organisasi profesi guru dalam lingkup kecil pada setiap satuan pendidikan.
Ketiga, Dalam birokrasi/elit pendidikan, guru kerap disetir untuk menjalankan tugas sesuai dengan kepentingan birokrasi, sehingga hal ini menyebabkan guru “bungkam”, tidak kritis, dan tidak berani bertindak ketika terjadi pelecehan profesi. Guru secara birokratis terpaku pada pola-pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan kepentingan birokrasi. Aktivitasnya sehari-hari lebih didominasi oleh pekerjaan-pekerjaan administrasi yang mengurangi ruang keprofesionalan untuk mengembangkan kreativitasnya dalam mengembangkan berbagai pembaruan pendidikan. Oleh karena itu, berikanlah kebebasan kepada guru untuk menyampaikan pendapat, gagasan, saran serta memberikan kebebasan kepada guru untuk berserikat dan berkumpul pada organisasi profesi yang diplih atas kehendak sendiri. Selain itu, perlu adanya pelurusan paradigma para birokrat pendidilkan bahwa guru bukan sebagai subjek teknis pada tataran grassroot tetapi merupakan bagian yang utuh dalam sistem pendidikan secara struktural maupun kultural, sehingga perlu dilibatkan dalam perumuskan berbagai kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan guru baik secara lansung maupun melalui perwakilannya.
Keempat, Ketidakpahaman guru mengenai perlindungan profesi baginya. Masih banyak guru yang buta hukum dan tidak tau prosedur pengurusan ‘mencari keadilan’ bagi dirinya. Oleh karena itu perlu peran dari organisasi profesi untuk memberikan bantuan dan layanan hukum (advolasi). Melalui organisasi profesi, guru dapat menghimpun kebersamaan untuk memperoleh perlindungan yang menjadi bagian dari haknya yang mesti diterima dari pemerintah, masyarakat, maupun dari organisasi profesinya itu sendiri.
Kelima, Penegakan hukum di Indonesia yang masih ‘kacau’, belum ditegakannya hukum secara tegas dan adil, sehingga berbagai persoalan hukum kadang terabaikan dan membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaian. Sebaiknya ketika ada laporan masalah-masalah plecehan terhadap profesi guru, maka para penegak hukum harus segera memproses dan mengenakan sanksi yang tegas kepada pihak-pihak yang melecehkannya sesuai dengan perundang-undangagan yang berlaku. Tentu dalam penegakan hukum perlindungan guru memerlukan political will dan dukungan dari pemerintah maunpun masyarakat secara penuh.
Membangun profesionalisme guru tidak hanya memaksakan guru untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik melainkan perlu diberikan juga nuansa kenyamanan lahir dan batin dalam menjalankan profesinya yaitu berupa pemberian perlindungan profesi dari pemerintah, masyarakat, maupun organisasi profesinya itu sendiri sehingga guru dapat lebih konsentrasi dan fokus dalam menjalankan tugasnya, serta tidak ada beban-benban lain yang dapat mengganggu kinerja keprofesionalannya. Tanpa memberikan perlindungan, maka akan berpengaruh terhadap kinerja guru, dan tentunya akan berdampak pula kepada kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Oleh karena itu sudah saatnya undang-undang perlindungan guru ditegakan dengan langkah nyata dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk memberikan perlindungan hukum, perlindungan profesi, dan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja, karena guru sangat memberikan peran yang sangat besar dalam pendidikan untuk kemajuan bangsa dan negara. Guru pun diharapkan terus meningkatkan keprofesionalannya sehingga kewajiban yang diemban dengan hak yang diterima untuk memperoleh perlindungan dapat berbanding lurus.

1 comment: